Pancasila Dalam Kenyataan : Jauh Panggang dari Api

Siapa yang tak kenal Pancasila? Siapa yang tak tahu Pancasila? Namun, siapa mengamalkan Pancasila yang tak hanya sebatas hapalan?
Secara rutin, saat tanggal 1 Juni tiba, seluruh elemen bangsa memperingati Hari Lahir Pancasila. Dengan upacara, mengunggah pamflet di media sosial, memasang billboard di jalan-jalan raya, ataupun iklan-iklan di televisi, kita merayakan hari besar yang diperingati setahun sekali. Para pejabat tinggi negara dengan penuh heroik berpidato lantang tentang semangat Hari Lahir Pancasila. Terus berulang dan berulang setiap setahun sekali. Namun, setelah semuanya kita lakukan, Pancasila tak pernah benar-benar kita implementasikan. Seolah Pancasila sebatas simbol semata yang nilainya tak pernah kita petik, bagai panggang jauh dari api, nilai-nilai Pancasila seperti semakin kabur dan tak berarti.

Istilah Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Sukarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Sebelum Sukarno, pada 29 Juni Mohamad Yamin lebih dulu berpidato tentang dasar negara, akan tetapi Yamin tidak menyebutkan tentang Pancasila. Dan pada 31 Mei Soepomo juga berpidato tentang dasar negara dalam konsep integralistik.
Lihat juga Janji Tinggal Janji Para Politisi
Singkatnya, dalam pidato yang cukup panjang, Sukarno memperkenankan istilah Pancasila dan menawarkannya untuk dijadikan sebagai philosphisce groundslag (Bahasa Belanda) yang artinya dasar filosofi suatu negara. Dalam bahasa Jerman, Sukarno menyebut Pancasila sebagai Weltanschauung yang artinya pandangan hidup.
Sukarno mengusulkan Pancasila yang berisi tentang Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Sukarno juga mengatakan bahwa kelima sila dapat diperas menjadi Tri Sila yakni sosio nasionalisme, sosio demokrasi, dan ketuhanan. Bahkan, menurut Sukarno Tri Sila dapat diperas kembali menjadi Eka Sila yaitu gotong royong yang merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia.
Pancasila bisa dikatakan sebagai konsep dasar negara yang ideal apabila tidak dijadikan sebatas simbol. Akan tetapi,nyatanya sebagai simbol jauh lebih nyata daripada Pancasila sebagai dasar negara yang ideal. Dalam sila pertama yang berbicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, kita masih menyaksikan pelarangan pendirian rumah ibadah, hak untuk berkeyakinan dibatasi, diperparah oleh kondisi negara yang kerap abai terhadap isu tersebut.
Dalam sila kedua dengan jelas disebutkan bahwa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tapi masih saja kita saksikan kekerasan dilakukan oleh aparat terhadap rakyat kecil yang mencoba mempertahankan haknya dari korporasi. Petani digusur lahannya demi proyek dan nafsu oligarki, buruh diupah murah, ataupun korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu yang hingga kini keluarganya terus menggugat keadilan yang tak kunjung datang.
Selanjutnya sila ketiga yang menyerukan Persatuan Indonesia, tetapi dalam kontestasi politik lima tahunan, baik pemilu maupun Pilkada, elit politik lebih gemar memainkan isu politik identitas ketimbang pertarungan gagasan. Akibatnya terjadi polarisasi di masyarakat yang terus tumbuh namun tak kunjung dipersatukan oleh aktor politik pemecah belah.
Lalu pada sila keempat menekankan tentang Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Akan tetapi lembaga legislatif yang seharusnya menjadi mandatori rakyat banyak, justru malah berpihak pada kepentingan partai dan oligarki. Sedangkan kepentingan rakyat? Mereka simpan di saku celana belakang. Legislatif tak lebih seperti tukang stempel kebijakan ketika melakukan pengesahan kebijakan yang tak pernah melibatkan pengambilan keputusan suara rakyat.
Terakhir, dalam sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang tak pernah menjadi kenyataan. Karena sumber daya alam dan ekonomi bangsa ini hanya dikuasai oleh segelintir orang yang pada akhirnya menciptakan pola kemiskinan struktural. Negeri ini kaya, tapi rakyatnya dimiskinkan.
Akhir kata, Pancasila bukanlah mantra sulap ataupun mantra sakti yang bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat secara otomatis. Dia harus dipraktikkan dan diperjuangkan, karena tanpa itu semua, Pancasila hanyalah simbol upacara yang tak pernah dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan. Rumusan sila-sila itu bukanlah hiasan dinding di tengah foto presiden dan wakil presiden di setiap ruang kelas atau ruang kerja pejabat. Nilai-nilai dalam lima sila itu haruslah menjadi pedoman hidup, apabila tidak, Pancasila hanyalah angan semata.
Ingatlah selalu pesan Bung Karno yang diucapkan dalam pidato 17 Agustus 1949 yang mengatakan “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah semangat elang rajawali”. (***)