Banten

‎Sidang Korupsi Pagar Laut Bongkar Kejanggalan Proses Sertifikasi

‎BANTEN – Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Serang menegur saksi dalam dalam sidang kasus korupsi pagar laut yang menganggap remeh kekurangan berkas permohonan penerbitan 263 Sertifikat Hak Milik (SHM) di perairan Desa Kohod, Kabupaten Tangerang.

‎Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan terkait kasus Pagar Laut di Pesisir Kabupaten Tangerang di Pengadilan Tipikor Serang pada Selasa (21/10/2025). Sidang tersebut menghadirkan sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di Kanwil BPN Provinsi Banten, BPN Kabupaten Tangerang, dan BPN Kabupaten Serang.

‎Sidang menghadirkan tiga saksi. Ketiganya adalah Staf Tata Usaha Perencanaan Kanwil BPN Provinsi Banten sekaligus Wakil Ketua Panitia A Yogi Siswanto, Sekretaris Panitia A sekaligus ASN BPN Kabupaten Tangerang Budi Heru dan ASN Kabupaten Serang yang dulu sebagai Koordinator Sub Pendaftaran Tanah dan Ruang, Suharyanto. Ketiganya hadir sebagai saksi dalam sidang kasus pagar laut untuk empat terdakwa, yakni: Kades Kohod Arsin bin Asip, Ujang Karta, Septian Prasetyo dan Candra Eka Agung Wahyudi.

‎Mereka didakwa karena berkomplot merekayasa penerbitan dokumen sertifikat lahan dia atas wilayah perairan laut. Areanya berada tak jauh dari rencana pengembangan kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk.

‎Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan menunjukkan adanya kekeliruan administratif dan pemeriksaan lapangan yang tidak menyeluruh, hingga membuat lahan bekas tambak tercatat sebagai tanah milik pribadi yang akhirnya dijadikan

‎Yogi mengakui, pada tahap awal pemeriksaan berkas masih ditemukan sejumlah kekurangan, seperti fotokopi girik yang belum dilegalisir, surat sporadik penguasaan fisik belum ditandatangani, surat izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta riwayat tanah yang belum dilampirkan.

‎Seluruh kekurangan berkas tersebut akhirnya dilengkapi, kecuali surat izin dari KKP hingga akhirnya sertifikat 263 bidang tanah disahkan.

‎“Kami hanya meminta agar berkas dilengkapi dan dikembalikan ke meja pendaftaran,” kata Yogi.

‎Hakim menilai kekurangan itu seharusnya tidak dianggap remeh karena menyangkut keabsahan dasar kepemilikan. Dalam catatan pemeriksaan lapangan, lahan dimaksud disebut sebagai bekas tambak berlumpur yang sebagian berada di wilayah perairan dengan batas tidak jelas.

‎“Mengapa kondisi sebenarnya tidak dilaporkan? Padahal dari lapangan terlihat sebagian sudah menyerupai laut,” tanya hakim.

‎Yogi mengklaim bahwa dirinya telah melaporkan kekurangan tersebut secara lisan, tidak secara tertulis.

‎“Saya tidak tahu pasti, karena tidak ke lapangan. Yang saya tahu bekas tambak saja,” katanya.

‎Kesaksian berikutnya datang dari Budi selaku Sekretaris Panitia A. Ia menyatakan bahwa hasil risalah Panitia A tahun 2023 menyebut lokasi sebagai area bekas tambak tanpa mencantumkan keterangan perairan.

‎“Semua berkas sudah lengkap, ada verifikator yang memeriksa,” ujarnya.

‎Hakim kemudian mengonfirmasi temuan bahwa sebanyak 263 sertifikat hak milik (SHM) berada di atas kawasan laut Desa Kohod.

‎“Keterangan saudara berbeda. Mengapa dalam risalah tidak disebut sebagai perairan?” tanya hakim.

‎Budi menjawab bahwa pemeriksaan dilakukan sesuai dokumen yang diterima, tanpa pendalaman lapangan lebih jauh.

‎Sementara itu, Suharyanto menyebut bahwa berkas yang ia terima tampak lengkap secara administratif. Namun, ia menemukan bahwa catatan tentang izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah dicoret.

“Saya pikir (izin KKP) tidak diperlukan, karena ini berdasarkan girik, jadi menurut pemikiran saya izin dari KKP tidak dibutuhkan,” katanya.

‎Akibat pernyataan tersebut, Hakim menegur keras Suharyanto. Karena ia dinilai menyimpulkan sendiri hal tersebut.

‎“Berarti saudara menyimpulkan sendiri pemahaman saudara. Intinya begitu, kan?” tegas hakim.

‎Namun, Suharyanto tidak menanyakan lebih lanjut dasar hukum pencoretan izin tersebut, meski dalam PP Nomor 24 dijelaskan bahwa tanah di wilayah pesisir memerlukan izin pemanfaatan ruang laut dari KKP.

‎“Seluruhnya sudah lengkap, Yang Mulia. Saya periksa secara sekilas,” tambahnya.

‎Majelis Hakim menyimpulkan bahwa proses sertifikasi tanah di Desa Kohod dilakukan dengan banyak kelemahan administratif dan teknis.
‎Beberapa berkas disahkan tanpa verifikasi lapangan, dan catatan penting seperti izin KKP dihapus tanpa dasar hukum yang jelas.

“Bagaimana mungkin 263 sertifikat bisa diterbitkan di atas wilayah yang secara faktual merupakan perairan? Ini harus ditelusuri kembali,” tegas hakim. (ukt)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button