Opini

Seabad Naar de Republiek, Gagasan Sosialisme yang Kian Terpinggirkan

Tan Malaka adalah salah satu tokoh yang pertama kali mencetuskan gagasan Republik Indonesia. Hal itu tertuang dalam buku Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Indonesia Merdeka yang ditulis oleh Tan Malaka dan diterbitkan untuk pertama kali di Canton, Tiongkok pada April tahun 1925, atau tepat seabad yang lalu. Buku ini ditulis lebih dulu daripada buku Indonesia Vrije (1928) karya Mohammad Hatta, maupun buku Mencapai Indonesia Merdeka (1933) karya Sukarno.

Usai dicetak di Canton, buku ini kemudian diselundupkan ke Indonesia yang kala itu masih Hindia Belanda. Namun, saat pertama kali terbit, tidak diketahui secara pasti berapa eksemplar yang dicetak. Karena hanya beberapa buah yang berhasil diselundupkan ke Indonesia. Barulah pada Desember tahun 1925, saat Tan berada di Filipina, cetakan kedua buku ini kembali dicetak dan berhasil menyebar luas di Indonesia melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia.

Lihat juga Janji Tinggal Janji Para Politisi

Singkatnya, dalam Naar de Republiek, Tan dengan tegas mengkritik perjuangan kompromistis yang dilakukan oleh organisasi dan tokoh pergerakan saat itu dalam memperjuangkan kemerdekaan. Menurut Tan, kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan secara penuh dengan kekuatan yang dimiliki. Yakni dengan melakukan perjuangan kelas seperti pemberontakan petani dan kelas pekerja yang akhirnya menjadi gerakan revolusi sosial. Tan mendorong perjuangan secara aktif dengan gerakan-gerakan radikal seperti mogok kerja ataupun pemberontakan bersenjata demi merebut kemerdekaan. Karena menurutnya, dalam buku Madilog dengan tegas mengatakan “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling”.

Indonesia merdeka harus berbentuk republik dengan pemerintahan rakyat yang adil, bukan sistem monarki maupun sistem lainnya. Setelah merdeka, Tan menginginkan Indonesia membangun sistem sosialisme dengan memperjuangkan keadilan sosial, kekayaan negara untuk rakyat, dan menghapuskan eksploitasi kelas. Karena sejatinya negara bertanggung jawab menjamin kesejahteraan rakyat banyak, menghapuskan tembok si kaya  dan si miskin. Selain itu, pendidikan yang merata dan bebas harus diberikan kepada seluruh rakyat, sebagai fondasi membangun bangsa.

Tan dengan tegas mengatakan bahwa pemerintahan harus dipegang oleh rakyat biasa melalui sistem demokrasi sejati.

Dalam catatan, pada masa Kolonial Belanda, Naar de Republiek dilarang keras oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dianggap radikal dan berbahaya karena berisikan pedoman revolusi. Setelah merdeka, pada masa pemerintahan orde baru (tahun 1966-1998) buku Naar de Republiek kembali dilarang beredar. Pada masa orde baru, bukan hanya buku-buku karya Tan Malaka yang dilarang, tetapi seluruh buku berbau kiri.

Naasnya, tak hanya buku-buku Tan yang dilarang, tetapi namanya pun turut dikaburkan dari sejarah oleh pemerintah orde baru. Barulah setelah reformasi 1998, buku-buku Tan Malaka bisa bebas dipelajari.

Marilah kita mengingat kembali gagasan tentang Bangsa Indonesia yang sosialis dan demokratis sebagaimana dicetuskan Tan Malaka. Saat ini, gagasan-gagasan revolusiner Tan Malaka yang tertuang dalam Naar de Republiek kian terpinggirkan oleh bangsa Indonesia yang sebentar lagi menginjak usianya yang ke 80 tahun.

Indonesia masih saja berkutat pada problematika yang nyata dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) karena terus menerus terjebak dalam hegemoni kepentingan ekonomi dan politik. Kebijakan ekonomi dan politik pemerintah sering kali hanya menguntungkan segelintir kelompok pemilik modal besar (OLIGARKI), sehingga menciptakan ketimpangan.

Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin menjadi dan membuat kerusakan di berbagai sektor, baik sektor pemerintahan maupun lingkungan. Akibatnya, gagasan Indonesia sosialis  dan demokratis masih jauh panggang daripada api.

“Kamu pemerintah, pencipta, pengilham, perancang intelek perbuatan suram ini! Kamu kira, bahwa ciptaanmu ini dapat menghancurkan kita? Sebagaimana halnya dengan penjara-penjara, pembuangan-pembuangan, pukulan-pukulan tongkat, peluru-peluru dan alat-alat lain dari alam gelap, demikian pun fasisme-mu akan lenyap sebagai timbunan salju di bawah sinar matahari,” demikian salah satu kutipan dalam buku Naar de Republiek.

Revolusi sosial harus kembali digaungkan demi mencapai Indonesia Merdeka 100 persen yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan kepentingan nasional. (***)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button