Banten

Ruwat Laut Carita, Tradisi Syukur dan Harapan Nelayan

BANTEN – Sejak pagi buta, ribuan orang telah memadati pesisir Pelabuhan Carita, Kabupaten Pandeglang. Seluruh warga berkumpul untuk mengikuti Ruwat Laut, tradisi sakral yang hanya digelar sekali dalam setahun. Sebuah pesta laut, warisan nenek moyang yang terus dijaga hingga hari ini.

Mayoritas warga di Carita bekerja sebagai nelayan. Laut bukan hanya tempat bekerja, tapi juga sumber kehidupan, tumpuan harapan, dan ladang keberkahan. Itulah sebabnya mereka menggelar ruwatan laut, sebagai wujud rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan.

Satu ekor kerbau dipilih secara khusus. Tidak boleh ada cacat, harus sehat dan bersih. Setelah disembelih, bagian kepala, kaki, dan tulang kerbau dilarung ke tengah laut. Sementara dagingnya dibagikan kepada para nelayan.

“Kerbau itu untuk kita mensyukuri, tapi tidak semuanya,” kata Ketua Panitia Ruwat Laut Kecamatan Carita, Sukani di lokasi, Minggu (13/07/2025).

Baca juga Pantai Teluk Labuan Pandeglang Kembali Diselimuti Sampah

Tak hanya kerbau, telur, minyak, dan peralatan dapur juga ikut dilarung. Diiringi alunan gamelan, kenong, kendang, dan wayang golek yang dimainkan di atas kapal utama, prosesi terasa sakral sekaligus meriah. Dalam tradisi ini, laut menjadi panggung spiritual sekaligus sosial, tempat bertemunya doa, budaya, dan harapan.

Menurut Sukani, sedikitnya ada 100 kapal nelayan mengiringi prosesi ruwatan ke tengah laut. Adapun ruwat laut ini sebagai bentuk rasa syukur atas hasil tangkapan nelayan. Debur ombak dan teriakan para nelayan turut meramaikan prosesi ruwat laut.

Meski tradisi ini berlangsung meriah, tersimpan juga berbagai keresahan. Sungai yang mulai dangkal, akses jalan yang rusak, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kehidupan nelayan menjadi keluhan yang terus mereka suarakan.

“Kalau sungai dangkal, gimana kami bisa melaut. Kami butuh pengerukan, perbaikan jalan,” katanya.

Bagi nelayan, kata Sukani, Ruwat Laut adalah bagian dari budaya dan identitas. Bukan sekadar kebiasaan tahunan, melainkan bentuk penghormatan pada alam, leluhur, dan Sang Pencipta.

“Ini dari zaman nenek moyang. Jangan sampai hilang. Karena ini bagian dari hidup kami sebagai nelayan,” pungkasnya.

Persiapan ritual juga tidak main-main. Dibutuhkan waktu hingga lima bulan, dan semuanya dilakukan secara swadaya oleh nelayan melalui rukun nelayan di tiap kampung. “Kami gotong royong. Dana, tenaga, semuanya dari kami sendiri,” ujar imbuhnya.

Di tengah meriahnya pesta laut di pesisir Carita, ada keresahan yang terus berulang dari tahun ke tahun yakni abrasi dan pendangkalan laut. Namun ketika pertanyaan tentang solusi dilontarkan kepada pemerintah kabupaten, jawabannya selalu kembali pada satu hal yaitu berlindung di balik kata kewenangan provinsi.

“Oh iya, tentu ini akan dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi Banten. Karena terkait masalah laut itu adalah kewenangan Provinsi Banten,” kata Wakil Bupati Pandeglang, Iing Andri Supriadi.

Alih-alih menyampaikan langkah konkret dari daerah, narasi yang muncul justru sebatas harapan bahwa provinsi akan bertindak. Ketika ditanya lebih lanjut soal kemungkinan Pemkab Pandeglang bertindak terlebih dahulu, jawabannya pun tetap sama.

“Oh, ini kewenangan provinsi. Nanti kita koordinasikan,” jelasnya. (ukt)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button