Politik

Indepth Reporting : Asal Catut  KTP untuk Pendaftaran Parpol di Banten pada Pemilu 2024

Ditulis oleh Ukat Saukatudin, Jurnalis banteniside.co.id

Rijalul Kahfi, pegawai Bawaslu Kabupaten Serang, Banten, tak membayangkan identitas pribadinya tercantum sebagai anggota Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Kabupaten Pandeglang, Banten. Identitas Kahfi mulai dari nama lengkap, Nomor Induk Kependudukan (NIK), hingga alamat lengkapnya muncul di layar Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia memastikan pandangannya tidak keliru. Namun, tak ada kesalahan, sistem menegaskan dirinya terdaftar sebagai anggota partai politik yang bahkan tidak pernah ia ikuti.

Kahfi baru mengetahui hal itu pada tahun 2022, setelah Bawaslu RI menginstruksikan kepada seluruh penyelenggara pemilu untuk memeriksa status keanggotaan masing-masing. Padahal, Kahfi telah bekerja sebagai pegawai Bawaslu Kabupaten Serang sejak 2018 dan tidak pernah menjadi anggota parpol. “Bawaslu punya program mengecek internalnya ada-tidak yang dicatut. Pas hasil pengecekan di Sipol, ada nama saya,” katanya kepada banteninside.

Kahfi menuturkan, ia tidak pernah menyerahkan KTP-nya kepada siapa pun untuk pendaftaran parpol. Bahkan, keluarganya juga tidak pernah melakukannya. Dia menduga KTP-nya diperoleh melalui cara-cara ilegal.

Tak lama setelah temuan itu, KPU Kabupaten Pandeglang memanggil pengurus PKP untuk melakukan proses klarifikasi. Ketua PKP Kabupaten Pandeglang kemudian menandatangani surat pernyataan bahwa Kahfi bukanlah anggota partai. Prosesnya berlangsung singkat dan nyaris tak ada pendalaman terkait kasus tersebut. Baginya, proses klarifikasi tersebut terasa sekadar administratif, tanpa upaya penelusuran sumber kebocoran data.

“Enggak ditelusuri (dapat dari mana), sempat kecewa karena kita tidak tahu (KTP kita dicatut),” katanya.

Baca juga Sidang Pagar Laut : Ahli Sebut BPN Tak Seharusnya Terbitkan 263 Sertifikat di Wilayah Perairan

Bagi Kahfi, pencatutan itu jelas mengancam kariernya sebagai penyelenggara pemilu. Karena salah satu syarat penyelenggara pemilu adalah mutlak tidak boleh terafiliasi dengan partai politik mana pun. “Kalau tidak cepat diklarifikasi, bisa dianggap terafiliasi dan diberhentikan,” ujarnya.

Hal serupa juga dialami oleh M. Ifan Faizi, pegawai Bawaslu Provinsi Banten. Ifan juga terdaftar sebagai anggota PKP tanpa sepengetahuannya. Padahal, ia tidak pernah sekali pun memberikan KTP-nya untuk mendukung atau menjadi anggota parpol mana pun.

Ifan mengaku selalu sadar untuk menjaga dan melindungi data pribadinya. Bahkan, untuk kebutuhan administrasi atau pendaftaran pekerjaan, ia selalu membubuhkan catatan di setiap fotokopi KTP-nya.

“Di fotokopi KTP saya tulis langsung ‘untuk pendaftaran apa,’ jadi sampai segitunya saya menjaga data pribadi,” katanya.

Setelah mengetahui namanya dicatut, Ifan harus mengurus hal tersebut ke KPU dan menandatangani surat pernyataan bahwa ia bukan anggota parpol. Jika tidak mengurus hal tersebut, maka ia dikeluarkan sebagai penyelenggara pemilu. “Otomatis dirugikan, lah,” ujarnya.

Bukan Kasus Tunggal

Menurut anggota Bawaslu Provinsi Banten, Sumantri, pihaknya mencatat, setidaknya ada 114 warga yang keberatan namanya dicatut sebagai anggota parpol. Data tersebut dihimpun dari warga yang melakukan pengaduan ke Bawaslu dan temuan saat melakukan pengawasan verifikasi faktual.

“Di semua parpol hampir ada kasus pencatutan nama. Profesinya beragam dari berbagai kalangan,” katanya.

Sumantri menjelaskan, setelah menemukan data tersebut, Bawaslu menindaklanjutinya dengan melakukan klarifikasi dan bersurat kepada KPU agar temuan tersebut ditindaklanjuti.

Saat ini, kata Sumantri, untuk mencegah pengulangan, Bawaslu RI telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 41 Tahun 2025 tentang Pedoman Pengawasan Pemutakhiran Data Parpol Berkelanjutan Melalui Sipol. SE tersebut bertujuan agar Bawaslu di daerah melakukan pengawasan secara maksimal terhadap data warga yang terdaftar sebagai anggota parpol tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Sementara itu, berbeda dengan data Bawaslu, KPU Provinsi Banten mencatat, data masyarakat yang dicatut oleh parpol justru jauh lebih banyak, yakni mencapai 471 orang. Data tersebut ditemukan saat KPU melakukan verifikasi faktual terhadap nama-nama yang ada dalam Sipol.

“Ada banyak sekali masyarakat yang keberatan. Namanya itu tiba-tiba ada di dalam anggota parpol (Pemilu 2024),” kata Akhmad Subagja, Ketua Divisi Teknis dan Penyelenggaraan KPU Provinsi Banten.

Menurut Subagja, masyarakat yang menjadi korban juga berasal dari berbagai profesi, seperti pegawai negeri sipil (PNS), pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), buruh, hingga penyelenggara pemilu itu sendiri.

Subagja menjelaskan, jika warga mengajukan keberatan saat KPU melakukan verifikasi faktual, saat itu juga KPU bisa menghapus datanya. Namun, apabila warga baru mengajukan keberatan setelah verifikasi faktual selesai, warga harus mengisi formulir tanggapan masyarakat di KPU Kabupaten/Kota atau bisa juga langsung ke KPU Provinsi.

Setelahnya, KPU Kabupaten/Kota lalu menyampaikan laporan tersebut kepada KPU provinsi atau langsung kepada partai politik. Subagja menambahkan, kewenangan untuk menghapus atau memperbaiki data keanggotaan di Sipol sepenuhnya berada di tangan partai politik. Karena itu, jika ada masyarakat yang keberatan atau menyatakan tidak pernah menjadi anggota partai tertentu, maka partai politik tersebut wajib menghapus atau memperbaiki datanya.

“Anggota partai, kan, ribuan, parpol bisa memperbarui apabila ada yang keberatan, atau ada yang sudah keluar sebagai anggota. Kami berharap parpol bisa lebih selektif, terbuka, dan melakukan verifikasi data dengan baik. Tidak asal comot data masyarakat jadi anggota partai,” ujar Subagja.

Untuk mencegah hal tersebut terulang kembali, kata Subagja, KPU saat ini telah memiliki Sipol berkelanjutan. Hal itu untuk mendorong parpol untuk melakukan pembaruan keanggotaan partainya, agar pada pemilu yang akan datang mereka memiliki dokumen keanggotaan yang lebih baik dan akurat.

Beban yang Dipindahkan ke Warga

Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menjelaskan, pencatutan kerap menyasar masyarakat sipil yang tidak mengetahui data mereka telah digunakan. Dampaknya, masyarakat harus direpotkan dengan proses administratif untuk menghapus keanggotaan sebelum mendaftar pekerjaan, termasuk menjadi PNS, penyelenggara pemilu, maupun profesi lainnya.

Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati

Menurut Neni, proses penghapusan nama warga yang dicatut oleh parpol juga sangatlah sulit, karena harus mengajukan keberatan dan menunggu KPU serta parpol untuk menghapus datanya. Di sisi lain, masyarakat juga tidak mengetahui bagaimana data mereka bisa diperoleh, apakah melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), data bantuan sosial, atau sumber data lain yang bocor.

“Modusnya tidak jelas, kita tidak tahu KTP itu dapat dari mana,” ungkapnya.

Neni menilai, ketidakterpaduan sistem informasi KPU membuat manipulasi dukungan semakin mudah. Padahal, KPU menerapkan konsep satu basis data (one big data election), namun tidak terintegrasi dengan baik dalam verifikasi keanggotaan parpol. Seharusnya, sistem otomatis menolak jika seseorang berstatus PNS, TNI, Polri, atau penyelenggara pemilu.

Selain itu, lemahnya regulasi dan penegakan hukum menjadi faktor utama pencatutan KTP terus terjadi. “Kita absurd bicara perlindungan data pribadi, sementara banyak data masyarakat justru bocor dari KPU,” tambah Neni.

Pada September 2022, dunia maya Indonesia dihebohkan oleh unggahan akun bernama Bjorka di sebuah forum online bernama “Breached Forums,” yang mempublikasikan file berisi sekitar 105 juta data penduduk Indonesia. Data itu mencakup NIK, nama lengkap, alamat, hingga data sensitif lainnya. Data yang dijual seharga US$5.000 itu disebut-sebut berasal dari KPU, sehingga memicu kekhawatiran nasional soal keamanan data pemilih.

Pada November 2023, situs KPU kembali menjadi sasaran serangan siber oleh peretas. Kali ini, peretas dengan nama anonim Jimbo mengaku berhasil memperoleh dan mempublikasikan sekitar 204 juta entri data Daftar Pemilih Tetap (DPT), lalu mencoba menjualnya. Berita ini cepat tersebar dan memicu kecemasan luas terkait integritas data pemilu.

Klaim kebocoran data kembali menempatkan beban pada masyarakat untuk mengawasi apakah data mereka digunakan tanpa izin. Hal itu mempertegas masalah yang sama, bahwa sistem verifikasi keanggotaan parpol dan proses pendaftaran yang bergantung pada data besar, rentan dimanipulasi jika pengamanan lemah.

Regulasi Ada, Penegakan Lemah

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Idi Dimyati menilai, pencatutan data oleh parpol saat pemilu jelas merupakan pelanggaran pidana. Karena telah menyalahgunakan data pribadi milik orang lain sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Idi Dimyati

Sanksi terkait penyalahgunaan data pribadi saat pemilu diatur dalam Pasal 520 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang bisa berujung pada pidana dan denda. Tak hanya itu, sanksi juga tertuang dalam Pasal 65 Ayat 1 dan Pasal 67 Ayat 1 UU PDP terkait pidana dan denda penyalahgunaan data.

Pria yang pernah menjabat Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Banten 2012-2016 itu menegaskan, setiap pengambilan dan pemrosesan data pribadi wajib disertai persetujuan eksplisit dari pemilik data. Meski aturan sudah jelas, penegakan hukum atas pelanggaran tersebut masih sangat lemah.

“Masalahnya bukan regulasi, tapi law enforcement atau penegakan hukum. Bahkan lembaga negara pun kadang melakukan pelanggaran,” kata Idi.

Kasus pencatutan KTP yang terus berulang menunjukkan lemahnya tata kelola verifikasi parpol dan pengamanan data di lembaga penyelenggara pemilu. Karena sistem verifikasi dukungan selama ini hanya dilakukan melalui uji petik, bukan verifikasi menyeluruh.

Apabila ada warga yang keberatan KTP-nya terdaftar sebagai anggota parpol, justru warga yang dituntut proaktif untuk mengajukan keberatan ke KPU. Padahal dalam UU PDP, warga memiliki hak mengetahui, mengoreksi, menolak, hingga menghapus data yang diproses tanpa izin.

“Perlindungan datanya pasif. Negara tidak hadir. Warga harus bergerak sendiri untuk menghapus pencatutan,” kata Idi.

Idi juga menduga, maraknya praktik pencatutan juga dipicu oleh biaya politik yang tinggi. Beban biaya tinggi membuat parpol mencari jalan pintas, termasuk membeli atau mengambil data KTP dari sumber ilegal. Dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 11 Tahun 2017 misalnya, setiap parpol yang menjadi Peserta Pemilu wajib memiliki anggota paling sedikit 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan tingkat kabupaten/kota. “Persyaratan dukungan itu jadi pemicu, para calon atau parpol butuh jumlah besar, sehingga mereka asal comot,” tambahnya.

Sementara itu, Banteninside telah berupaya melakukan konfirmasi kepada Ketua PKP Kabupaten Pandeglang, Juhdi, terkait kasus pencatutan data tersebut. Namun, Juhdi mengaku tidak mengetahui persoalan pencatutan KTP, dan saat ini ia telah mundur dari jabatan ketua partai.

“Itumah waktu ketua PKP-nya Pak Sarbini Alkabin, jadi saya tidak tahu masalah tersebut. Dan saya sudah mundur dari Ketua PKP, surat pengunduran diri sudah saya serahkan ke KPU Pandeglang,” katanya melalui pesan singkat Whatsapp. (**)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button