Janji Tinggal Janji Para Politisi

Bagaimanapun kalau seorang politisi hanya membuat janji yang ia yakini sanggup ia penuhi, ia tak akan punya banyak teman. Dan janji yang tak ditepati kerap kali lenyap di tengah awan perubahan, sehingga amarah terhadapmu akan kecil saja. – Quintus Tullius Cicero – How To Win An Election
Musim para politikus tampil ke muka publik telah lewat. Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah yang digelar serentak tahun 2024 telah menjadikan para politisi sebagai presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah.

Sekarang, para politikus yang terpilih itu kembali hilang dari ruang-ruang publik, bahkan tenggelam seolah menyibukan diri, sekadar terkesan bekerja entah untuk apa. Sejalur dengan itu para politikus kebanyakan terjangkiti amnesia massal alias kehilangan daya ingat termasuk mengingat janji-janji yang pernah dibuat saat merayu pemilih ketika masa kampanye berlangsung.
Ya, janji memang mudah diucapkan dan membuat senang yang mendengarnya. Bagi politikus, janji hanya sebagai alat tukar. Dasarnya adalah kepentingan. Para pilitikus mengemas janji mereka dengan istilah visi, misi, dan program. Makan gratis, sekolah gratis, berobat gratis, tidak korupsi, dan banyak lagi kata-kata hiperbolis yang dipertukarkan dengan elektabilitas. Harusnya, janji membuat keterikatan antara yang berjanji dengan yang dijanjikan. Namun bagi politisi, janji mengandung beban psikologis. Lalu kenapa politikus mudah lupa akan janjinya?
Kepribadian Politikus
Masa kampanye Pemilu dan Pilkada bagi para politikus bagai pasar murah janji yang diumbar kepada pemilih. Kepentigan para politikus jelas, ingin mendapatkan suara pemilih. Artinya, dia tidak akan memberi janji jika tidak punya kepentingan. Mereka yang berjanji sudah pasti punya kepentingan lebih besar daripada yang diberi janji.
Anehnya, mulut para politikus itu tampak ringan-ringan saja mengumbar janji, tanpa dipikir lagi asal jeplak dengan prinsip ‘bagaimana nanti’. Padahal, integritas dan harga diri didasarkan pada kemampuan kita untuk menepati janji. Karenanya, jika politikus tak menepati janji sama saja tak memiliki integritas dan harga diri. Tapi seperti kata Quintus, kalau kamu melanggar suatu janji akibatnya tak pasti dan jumlah orang yang terdampak hanya sedikit, tapi kalu kamu tak memberikan janji, akibatnya pasti dan hal itu langsung memunculkan amarah pada sejumlah besar pemilih. Begitulah adanya dalam benak politikus.
Perilaku politik seperti ini berkaitan erat dengan kepribadian si politikus. Bisa pula terjadi konflik batin antara kemauannya untuk menepati janji dengan realitas yang didapati bahwa pemilihnya telah mendapatkan sesuatu di awal bersamaan saat janji disampaikan. Berbahayanya, jika para politikus justru menemukan kenikmatan dari sikap tak menempati janji ini.
Lihat juga Banten Menuju Rezim Tanpa Korupsi, Apa Iya?
Secara teoritis, sifat mengingkari janji adalah karena ego para politisi tak kuat menahan dorongan untuk mengingkari janji, meski dia sadar hal itu tidak dibenarkan. Atau bisa jadi super egonya lemah, dalam arti dia tidak merasa bersalah, tidak merasa cemas jika tak menempati janji, sehingga potensi mengingkari janji menjadi lebih dominan. Atau juga sebaliknya, orang mengingjkari janji akibat super egonya yang terlalu kuat. Begitu kata Sigmon Freud.
Lupa yang Disengaja
Dalam situasi lain, ada politikus yang sangat ingin menepati atau melaksanakan janji-janjinya kepada konstituen, namun terhalang oleh terbatasnya kemampuan baik keuangan maupun otoritasnya. Alih-laih berusaha keras mengalakan keterbatasan itu, sang politisi akhirnya memilih jalan lupa. Ya, lupa yang disengaja atau intentional forgetting.
Dalam teori kepribadian Freud, kondisi demikian dianggap sebagai masalah kepribadian resisten dan represi yang tak lain cara individu untuk melindungi diri dari penderitaan. Artinya, bisa jadi akibat tak mampu menepati janjinya itu sang politikus jada menderita beban mental, mungkin karena malu, dianggap pembohong, dan alasan lainnya. Namun, seiring waktu akan terbiasa juga mereka menjadi ingkar. Politikus yang mengalami masalah kepribadian tadi, akan menolak membahas topik yang berkaitan dengan janji-janjinya saat kampanye atau meminta mendunda diskusi tentang ini.
Maka tak heran, banyak sekali politikus yang bersikap planga-plongo jika ditagih janjinya, bahkan berusaha menghindar, atau paling banter ‘membayar’ janjinya dengan bantuan tak seberapa, sekadar demi lolos sesaat.
Janji Politikus Tak Bisa Digugat
Walau banyak politisi yang ingkar janji, namun mereka tidak bisa digugat di muka hukum. Janji para politikus ini tidak dapat digolongkan sebagaimana umumnya janji dalam hukum perdata. Ditambah lagi, kepedulian publik atau pemilih untuk menagih janji kampanye para politikus juga sangat rendah.
Sebuah penelitian yang dilakukan Gadjah Mada Journal of Professional Psychology (GamaJPP) atau JPP Universitas Gajah Mada, menunjukkan sekitar 85 % pemilih tidak pernah menagih janji kampanye caleg setelah mereka terpilih. Kalaupun ada anggota masyarakat yang mendiskusikan masalah pembangunan dengan anggota legislatif, itu pun dilakukan secara personal dengan anggota legislatif ketimbang dengan partai politik. Peneliian ini dilakukan tanggal 15-23 bulan Juli dan Agustus tahun 2014 dengan mensurvei 300 responden di Yogyakarta dan Magelang.
Dalam kesempatan itu, saat menanggapi hasil survei, Dodi Ambardi mengatakan, sulit mengharapkan politisi melaksanakan janji kampanyenya, karena umumnya politisi ketika bertarung di pileg lebih berpikir untuk memenangkan pemilu ketimbang melaksanakan janjinya kepada masyarakat.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa janji politik para politikus tidak dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian dalam konteks hukum perdata. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengtakan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal sehingga timbul hubungan antara dua pihak yang berbuah perikatan didasarkan pada persetujuan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Berarti, hubungan hukum yang timbul dari suatu perjanjian adalah hubungan timbal balik dari pihak yang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal.
Karenanya, janji politik tidak termasuk perjanjian yang dimaksud dalam hukum perdata, sebab para politikus hanya mengucapkannya pada masa kampanye, sementara rakyat atau pemilih tidak mengikatkan diri untuk melakukan suatu prestasi dari janji-janji politik itu.
Jika demikian, semakin jauhlah jarak antara politikus dengan konstituen atau pemilihnya. Sebagai warga yang suaranya sudah diambil saat Pemilu atau Pilkada, secuil harapannya adalah masih tersisa moralitas pada diri politikus dengan mengingat pesan Rasulullah SAW dalam hadist tentang ciri-ciri orang munafik bahwa “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu (1) ketika berbicara ia dusta, (2) ketika berjanji ia mengingkari, dan (3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat, serta politikus juga semoga ingat firman Allah swt dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 145, “Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” Wallahualam Bissawab. (***)