Peneliti BRIN: Pilkada 2024 Penuh Intervensi

BANTEN – Peneliti ahli utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Firman Noor mengatakan, Pemilihan atau Pilkada Serentak tahun 2024 penuh dengan intervensi kekuasaan.
Menurut Firman, intervensi kekuasaan tersebut terlihat ketika Presiden Prabowo Subianto yang merupakan Ketua Umum Partai Gerindra turut serta mendukung calon di Pilkada tahun 2024. Menurutnya, tindakan tersebut terlihat sebagai upaya agar pemimpin di daerah juga selaras dengan pemerintah pusat, yakni harus berasal dari Partai Gerindra atau KIM Plus.
“Pilkada yang penuh dengan intervensi, ini tidak wajar bagi demokrasi yang wajar,” jelasnya saat dialog demokrasi yang diselenggarakan The Habibie Center, Rabu (26/02/2025).
Lihat juga Andika Hazrumy Dapat Kesempatan Kedua, MK Putuskan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Serang
Firman mengatakan, Pilkada 2024 diselenggarakan di tengah kondisi demokrasi yang berantakan usai Pemilu tahun 2024. Namun, di tengah hiruk-pikuknya demokrasi tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) hadir sebagai pahlawan disaat KIM Plus mengupayakan agar di seluruh daerah hanya terdapat calon tunggal.
Hal itu datang melalui putusan MK Nomor 60 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah. Yang pada akhirnya membuat banyak partai politik bisa mengusung calon tanpa harus berkoalisi. Meskipun demikian, masih banyak daerah yang terdapat kotak kosong sehingga mencerminkan kuatnya politik dinasti dan oligarki.
“Bagi saya menggambarkan bagaimana kuatnya politik dinasti dan oligarki di daerah itu, sehingga kotak kosong,” tuturnya.
Ungkap Firman, ia curiga ketidakmampuan parpol mengusung calon kepala daerah seorang diri terjadi karena partai di Indonesia tidak memiliki visi yang harus diperjuangkan untuk daerah. Pada akhirnya kemiskinan gagasan tersebut membuat banyak partai hanya menjadi pengekor.
Dirinya juga menyinggung terkait banyak pihak yang mengatakan biaya Pilkada langsung sangatlah mahal. Menurutnya, hal itu terjadi akibat kemiskinan gagasan partai yang tidak mampu melahirkan kader berkualitas. Akibatnya, melegalkan gaya politik Orde Baru (Orba), yakni menggunakan politik uang dan hura-hura.
“Politik mahal Rp20-Rp100 miliar untuk kepala daerah bupati/walikota. Itu adalah badai yang dituai karena waktu lalu fakir ide dan visi misi. Legacy orba membiasakan orang hura-hura sehingga makna pesta demokrasi direduksi menjadi hura-hura dan politik uang,” tegasnya.
Firman juga mengatakan, wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD bukanlah solusi tepat apabila alasannya hanya karena biaya mahal, polarisasi, maupun politik uang. Akibatnya membuat demokrasi di Indonesia semakin elitis dan rakyat terabaikan.
“Kalau masalahnya politik uang selesaikan. Jangan ditarik hak kedaulatan rakyat. Karena sumbernya elit partai masih membiasakan itu (politik uang),” jelasnya.
Firman menambahkan, politik uang juga terjadi akibat lemahnya fungsi Bawaslu dan Gakkumdu. Karena pengawasan dan penindakan yang tidak efektif. Tugas parpol saat ini adalah mendidik rakyat agar tidak terus-menerus mengharapkan politik uang. (ukt)