Opini

BPSK : Melindungi Konsumen, Menjaga Pelaku Usaha

“Konsumen adalah Raja.” Satu ungkapan yang sejak lama ada dan sejak lama pula dikenal di dunia bisnis. Sekilas ungkapkan ini seolah menempatkan superoritas konsumen atas pelaku usaha atau pebisnis. Kesan kemudian muncul adalah apapun keinginan konsumen adalah titah raja yang wajib dipenuhi. Dilihat secara utuh, tidaklah salah jika pelaku usaha beranggapan konsumen adalah raja sepanjang yang dipenuhi adalah memang hal-hal yang menjadi hak konsumen.

Ungkapan di atas muncul sebagai konsekuensi dari hak-hak konsumen yang harus dipenuhi pelaku usaha, baik penjual barang atau penyedia jasa. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UU PK) menyebutkan hak-hak konsumen yang terdiri dari, hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

Hak konsumen yang juga dilindungi berdasarkan ketentuan itu adalah hak atas informasi yang benar; jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; serta hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Lihat juga Banten Menuju Rezim Tanpa Korupsi, Apa Iya?

Kendati demikian, di dunia bisnis sesungguhnya, pelaku usaha, dengan konsumen yang sangat beragam, tidak serta merta menjalankan prinsip konsumen adalah raja. Tidak sedikit pelaku usaha yang berpikiran bahwa tidak semua permintaan konsumen harus selalu dipenuhi. Adapula sikap apriori yang memosisikan konsumen sebagai pihak bersalah dengan dalih, “Telah diinformasikan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan,” atau memakai alasan sudah ada pengumuman bersifat aturan sepihak dengan bahasa yang sama. Ada pula, pebisnis yang terkadang mengambil sikap pada kasus tertentu agar konsumen tidak menyalahgunakan haknya.

Saat pelaku usaha berpikir dan bersikap demikian maka seketika itu muncul potensi sengketa antara konsumen yang menuntut hak dengan pelaku usaha yang tidak megindahkan hak-hak konsumen. Bisa jadi pelaku usaha bersitegang dengan konsumen tentu atas masing-masing argumentasi. Konsumen menuntut penggantian ganti rugi atau penukaran barang, namun ditolak pelaku usaha. Di sinilah ruang penyelesaian sengketa harus ada. Adalah hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Penyelesaian sengeketa antara konsumen dan pelaku usaha yang tercepat adalah diselesaikan langsung antara kedua pihak saat itu juga. Jika tidak terselesaikan maka sengketa dapat dibawa ke lembaga alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK.

Pada contoh situasi di atas, nyatalah berbeda praktik atas prinsip konsumen adalah raja. Seperti kata Kees Bartens, dalam buku Etika Bisnis, walaupun konsumen digelari raja, pada kenyataannya “kuasanya’ sangat terbatas karena pelbagai alasan. Bartens menyebut beberapa alasan itu antara lain, daya belinya yang sering kali tidak seperti diinginkan, sehingga ia tidak sanggup  mengungkapkan preferensi dia yang sesungguhnya. Berikutnya alasan bahwa apa yang pada kenyataannya dibeli oleh konsumen, belum tentu sama dengan apa yang ingin dibelinya serta alasan tentang pengetahuan tentang barang atau jasa yang ada di pasaran sering tidak cukup untuk mengambil keputusan yang tepat. Bartens mengingatkan, konsumen harus diperakukan dengan baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis.

Dari pandangan Bartens dapatlah kita petik makna bahwa pelayanan kepada konsumen, baik sebelum, saat, dan pasca-transaksi, erat kaitannya dengan etis, dalam hal ini etika bisnis yang penting ditegakkan oleh pelaku usaha. Karenanya, jika soal etis ini dijalankan maka tiadalah akan terjadi suatu sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha.

Perlindungan konsumen merupakan prasyarat mutlak dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui keseimbangan antara perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Untuk itu, BPSK hadir, sebegaimana mandat UU PK.

Penyelesaian Sengketa Konsumen

Sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha yang meminta ganti rugi atas kerusahakan, pencemaran, dan/atau kerugian akibat mengonsumi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir, yakni, pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Sedangkan pelaku usaha dimaknai setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi

Seperti diuraikan sebelumnya, sengketa konsumen terjadi ketika pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau menlak memberikan ganti rugi kepada konsumen. Maka konsumen yang merasa dirugikan tersebut dapat meyampaikan pengaduan atau permohonan penyelesaian sengketa konsuen ke Badan Penyelesaian Sengketa  Konsumen (BPSK).

Lihat juga Akal-Akalan Laporan Dana Kampanye Pemilihan Wali Kota Serang di Pilkada 2024

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Pembentukannya didasarkan pada UU PK dan secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2020 tentang BPSK.

Pengaduan atau permohonan sengketa konsumen dapat diajukan secara tertulis atau tidak tertulis. Kosnsumen yang merasa didirugkan bisa datang ke kantor BPSK setempat. Tercatat hingga tahun 2022 telah dibentuk 128 BPSK di 32 Provinsi di Indonesia dan Provinsi Banten adalah salah satunya. Bagi konsumen yang menyampaian permohonan tidak tertulis, maka akan dicatat oleh petugas secretariat di BPSK.

Cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK sangat mudah atau anti-ribet, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha. Jadi, pelaku usaha tidak perlu khawatir mengalami keruwetan manakala diadukan oleh konsumen dan diminta hadir oleh BPSK dalam rangka penyelesaian sengketa. Ada tiga cara penyelesaian sengketa di BPSK yang diatur undang-undang, yaitu, konsisiali, mediasi, atau abritrase. Cara mana yang digunakan tergantung pilihan yang disepakati konsumen dan pelaku usaha.

Jika cara konsiliasi disepakati, berarti menjelis BSPK  mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Kalau kedua pihak sepakat memilih cara mediasi, maka majelis BPSK menjadi “penasehat/mediator” dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Cara terakhir adalah arbitrase di mana para pihak yang bersengketa meyerahkan sepenuhnya keputusan penyelesaian sengketa kepada BPSK. Sekali lagi tiga cara penyelesaian ini sifatnya alternative atau pilihan bukan berjenjang.

BPSK di Banten

BPSK merupakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang juga telah ada di  Banten sejak sekira tahun 2015 silam. Kala itu pembentukan BPSK masih merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Di Banten, kabupaten/kota yang BPSK-nya aktif antara lain BPSK Kota Tangerang Selatan, BPSK Kabupaten Serang, dan BPSK Kota Serang.

Sejalan perubahan regulasi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengalihkan kewenangan terkait upaya-upaya perlindungan konsumen ke pemerintah provinsi. Meski sempat dibentuk di tahun 2017, BPSK Provinsi Banten pada periode itu belum efektif bekerja.

Di tahun 2024 tepatnya bulan Agustus, dilantik 30 anggota BPSK Provinsi Banten, terbagi dari dua wilayah kerja provinsi (WKP), yakni WKP I meliputi Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan serta WKP II meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, dan Kota Serang.

BPSK di Banten menjalankan fungsi yang sama sebagaimana di atur UU PK, dan sampai saat ini telah ada sejumlah konsumen yang datang, baik untuk menyampaikan pengaduan maupun dengan maksud berkonsultasi.

Menilik kewenangan yang dimiliki BPSK yang diatur dalam UU PK, terdapat batasan-batasan kewenangan penyelesaian sengketa yang diatur ketentuan lain, seperti sengketa konsumen menyagkut sektor jasa keuangan, semisal senketa konsumen bank atau lembaga pembiayaan, dan persuransian, tidak dapat lagi ditangani oleh BPSK, karena sudah menjadi domain lembaga alternatif penyelesaian sengkeja jasa keuangan di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Karenanya, lingkup kewenangan BPSK menjadi sangat spesifik pada sengketa konsumen barang dan jasa saja. Sudah tergambar kan bagaimana menyelesaikan sengketa konsumen saat ini? Jangan ragu datang ke BPSK. (*)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button